Oleh: Ustadz Budi Ashari
Abdullah
putra Umar radhiallahu anhumamenceritakan tentang tanah Khaibar yang
telah dibagi oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam untuk para
shahabat.
Dari Ibnu Umar berkata:
Umar mendapatkan tanah Khaibar. Dia datang kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam meminta saran tentangnya.
Dia berkata: Ya Rasulullah, aku mendapatkan tanah Khaibar. Belum pernah
aku mendapatkan tanah yang lebih berharga selain darinya. Apa yang
engkau perintahkan kepadaku tentangnya?
Rasul menjawab: Jika kamu mau, kamu tahan tanahnya dan kamu shadaqahkan.
Maka Umar pun menyedekahkannya, tidak dijual tanahnya, tidak diwariskan
dan tidak dihadiahkan. Umar menyedekahkannya untuk orang fakir,
kerabat, budak, sabilillah, ibnu sabil dan tamu. Diizinkan untuk yang
mengelolanya untuk memakannya dengan cara yang baik atau memberi makan
bagi temannya tanpa memilikinya.
(HR. Bukhari dan Muslim)
Khaibar adalah wilayah sangat subur. Penghasil kurma nomor satu di
Jazirah Arab saat itu. Sekaligus menjadi benteng bagi komunitas Yahudi
di zaman Nabi. Sesungguhnya, jarak antara Madinah dan Khaibar cukup
jauh: 170 Km. Apalagi jaraknya dari Mekah, 500 KM lebih jauh lagi.
Tetapi Yahudi sering menjadi sumber masalah untuk berbagai kejahatan dan
konspirasi bagi muslimin di Madinah. Dan pendorong untuk masyarakat
Mekah melakukan penyerangan ke Madinah.
Karenanya di tahun 7 H,
Nabi berangkat dengan 1400 pasukan muslimin (Lihat Ar Rahiq Al
Makhtum). Ya, menuju Khaibar. Menghentikan semua provokasi Yahudi.
Dan dengan izin Allah, tebalnya benteng-benteng Khaibar mampu ditembus
muslimin. Yahudi menyerah. Mereka hendak diusir oleh Rasul dari Khaibar,
tetapi batal. Karena keadaan muslimin yang tidak memungkinkan mengelola
Khaibar, maka tercapailah kesepakatan antara Rasulullah dan Yahudi.
Mereka boleh tetap tinggal di Khaibar untuk mengelola kekayaan tanah
Khaibar. Tetapi setengah dari hasil buminya harus disetorkan ke Madinah
dan mereka tetap berhak mengelola tanah Khaibar selama diperlukan oleh
muslimin.
Status tanah Khaibar telah menjadi milik muslimin.
Dan Yahudi hanya menjadi pengelola yang berhak mendapatkan bagi hasil.
Tanah Khaibar dibagi oleh Rasulullah untuk para shahabat seperti dalam
aturan pembagian ghanimah.
Di antara para shahabat yang
memiliki bagian tanah di Khaibar adalah Umar bin Khattab radhiallahu
anhu. Persis seperti yang disampaikan oleh Umar bahwa tanah Khaibar
adalah merupakan tanah terbaik yang pernah dimilikinya. Mengingat hasil
buminya sungguh sangat luar biasa.
Tetapi Umar memberikan
pelajaran berharga kepada kita. Harta terbaik yang dimilikinya justru
hendak dilepasnya karena Allah. Umar mau menyedekahkannya. Semangat ini
rata di kalangan para shahabat Nabi.
Umar datang ke Nabi untuk
meminta petunjuk. Saran yang diberikan oleh Nabi adalah wakaf. Rencana
awal Umar untuk menyedekahkan kebunnya, disarankan Nabi untuk
diwakafkan. Bedanya adalah jika sedekah kepemilikan kebun akan berpindah
kepada seseorang atau beberapa orang. Dan orang itu punya hak penuh
untuk mengelola atau menjualnya atau memberikannya lagi ke orang lain.
Adapun wakaf, status tanah tersebut menjadi tidak ada pemiliknya kecuali
Allah. Dan hasilnya digunakan untuk berbagai kepentingan sesuai akad.
Dalam kisah di atas diperuntukkan bagi fakir, kerabat, budak,
sabilillah, ibnu sabil dan tamu. Selama tanah itu masih ada dan
menghasilkan, maka kepentingan umum bisa terus dibiayai.
Apa
yang sebenarnya ada dalamdiri Umar saat memberikan harta paling berharga
yang dimilikinya itu. Amal shaleh, itu pasti. Amal yang terus mengalir
pahala, itu jelas.
Tapi mari kita baca kalimat Umar saat beliau menjadi Khalifah,
“Kalau bukan karena keberadaan muslimin yang akan datang nanti,
tidaklah aku membuka sebuah tempat kecuali pasti aku membaginya,
sebagaimanan Nabi shallallahu alaihi wasallam membagi Khaibar.” (HR.
Bukhari)
Kalimat ini dikeluarkan Umar untuk membuat kebijakan
terhadap tanah yang lebih kaya lagi. Ardhus Sawad (Tanah Irak) yang
dikenal sangat subur dan sangat kaya hasil buminya.
Umar
mengenang pembagian tanah Khaibar. Di mana dirinya termasuk orang yang
mendapatkan jatah tanah. Dan Umar telah mewakafkan tanah yang ada dalam
kekuasaannya.
Kini Umar kembali mendapatkan kekuasaan. Tanah
yang lebih luas dan lebih kaya; tanah Irak. Saat keputusan penuhnya ada
di tangah Umar, ia mengingat peristiwa Khaibar yang telah berlalu
sekitar 10 tahun yang lalu.
Ternyata Umar disibukkan oleh pemikiran tentang jatah generasi berikut. Prof. DR. Akram Dhiya’ menjelaskan tentang hal ini,
“Hukum asalnya adalah wilayah yang ditaklukkan harus dibagi. Adapun
perhatian terhadap hak-hak generasi berikutnya disimpulkan oleh Umar
dari ayat-ayat yang dibacakan di hadapan yang hadir (Yaitu Al Hasyr:
7-10).”
Setelah menyampaikan pendapatnya dan membacakan ayat-ayat tersebut, Umar menutup tekadnya dengan perkataan,
“Demi Allah tidak ada seorang pun dari muslimin kecuali ia berhak
terhadap harta ini. Baik ia bisa mendapatkannya atau tidak. Hingga
seorang penggembala di Kota ‘Adn”
‘Adn adalah salah satu kota di Yaman. Penyebutan Kota ‘Adn adalah ungkapan untuk wilayah kekuasaan Umar yang sangat jauh.
Umar ingin menjamin bahwa wilayah terluar dan terjauh yang dimiliki
muslimin, bahkan hanya orang kecil seperti seorang penggembala berhak
terhadap harta negara. Dan Umar harus menjamin bahwa hartanya
benar-benar sampai di tangannya dan bisa dinikmatinya.
Sungguh,
dari sini kita semakin tahu bahwa Umar adalah pemimpin yang sangat
adil. Keadilannya melampaui zamannya. Ia memikirkan generasi setelahnya.
Umar tidak ingin harta itu hanya berputar di antara orang-orang di
zamannya. Apatah lagi hanya di tangan segelintir orang.
Maka, mereka yang tega melakukan korupsi jelas ia tidak peduli dengan generasi setelahnya.
Mereka yang menguras habis kekayaan negara hanya untuk kepuasan
syahwatnya dan sekelompok orang, jelas ia tidak peduli dengan generasi
setelahnya.
Mereka yang tidak memikirkan dampak negatif dari
tindakannya dalam menguras kekayaan bumi, jelas ia tidak peduli dengan
generasi setelahnya.
Mereka yang hanya menumpuk aset tanah dan menelantarkannya, jelas ia tidak peduli dengan generasi setelahnya.
Mereka tidak peduli. Generasi masa depan sebenarnya tak pernah ada di
benaknya. Tak menjadi konsentrasinya, walau sering keluar dari lisannya.
(Islampos/ParentingNabawiyah)
sumber : http://bit.ly/1eOZyOO
Posting Komentar