Anies Baswedan : Filantropi, Salah Satu Solusi Peningkatan Mutu Pendidikan


Banyak kemajuan di bidang sumberdaya manusia yang sudah dicapai oleh bangsa Indonesia, tapi tantangan ke depan tak kalah dahsyat dan kritis. Itulah salah satu benang merah yang bisa ditarik dari paparan tokoh muda yang sangat peduli soal pendidikan Anies Rasyid Baswedan, PhD, yang belakangan dikenal sebagai motor gerakan 'Indonesia Mengajar'.

Menurut Anies, yang juga Rektor Universitas Paramadina ini, pendidikan di Indonesia sarat dengan persoalan dan tarik-menarik antara sistem dan hakikat pendidikan itu sendiri. Di samping itu, kurangnya pengajar berkualitas di daerah terpencil, komersialisasi, dan masih banyaknya anak putus sekolah juga masalah yang perlu terus dicari solusinya oleh berbagai pihak yang merasa peduli.

Anies mengatakan program beasiswa bisa menjadi salah satu solusi bagi upaya peningkatan mutu pendidikan di negeri ini. Bila pemerintah belum bisa menyediakan anggaran yang memadai, hingga 20% dari budget APBN, mestinya pemerintah dapat menggalakkan perolehan dana dari swasta melalui penggalangan dana dari para filantropis swasta (private philantrophy) yang dikaitkan dengan peringanan pajak bagi mereka (tax exemption). Karena sulit dilakukan, tandas mantan ketua Komite Etik Komisi Pemberantasan Korupsi, makanya justru harus dimulai gerakannya dengan meyakinkan berbagai mitra yang potensial khususnya dunia usaha.

Sulit kalau hanya menyediakan dana pendidikan hanya mengandalkan anggaran pemerintah. Itu sebabnya negara seperti AS pun, lanjutnya, menerapkan budaya filantropis itu untuk memajukan human capital-nya.

"Berkat usaha itu, dari tahun ke tahun, jumlah dana yang berhasil diperoleh dari kocek swasta di AS terus meningkat. Jika pada tahun 90-an, sekitar 5% hingga 20% anggaran universitas negeri dan swasta diperoleh dari sumbangan filantropi swasta, maka pada 2005 donasi yang diperoleh dari sektor privat itu meningkat hingga mencapai 10-30%. Pada 2006, jumlah donasi dari masyarakat swasta mencapai US$ 295 miliar," terang Anies.

Program filantropi ini, kata pria kelahiran Kuningan, Jawa Barat ini, mengingatkan tentang perlunya menghindari budaya komersialisasi pendidikan oleh pihak manapun. Guna mencegah hal itu, tentu saja harus ada alternatif bagi lembaga pendidikan agar tidak tergantung pada uang sekolah ataupun universitas yang ditarik dari murid atau mahasiswa yang mendaftar.

"Jika uang sekolah menjadi satu-satunya sumber pendapatan, maka lembaga pendidikan menjadi sulit menghindarkan diri dari 'komersialisasi' pendidikan," ujar pria yang sempat masuk dalam 100 Tokoh Intelektual Muda Dunia versi Majalah Foreign Policy terbitan Amerika Serikat pada tahun 2008.

Dengan demikian, kata dia, dari banyak alternatif salah satunya adalah kerja sama antara lembaga pendidikan dan komunitas bisnis, baik melalui program beasiswa (fellowship) ataupun riset bersama (jointresearch) merupakan jawabannya

 

Beasiswa : Idealisme Yang Besar

Jika kalah dari profesional asing secara sistematis dan kolektif, saya khawatir akan muncul anak-anak muda frustrasi dan marah. Ini karena pendidikan dan persiapan yang dimiliki sekarang ini tidak didesain untuk membuat mereka menang dan dominan di masa depan. Anies Baswedan.!
Dalam soal beasiswa ini, Anies tak hanya berwacana. Universitas Paramadina telah memilih anak berprestasi dari seluruh Indonesia. Persyaratannya tidak harus miskin. Banyak anak yang berpotensi, tapi tidak mampu. Besarnya beasiswa untuk masa kuliah empat tahun adalah Rp.65 juta untuk yang dari Jakarta dan Rp.100 juta untuk mahasiswa dari luar Jakarta.

Seleksinya ketat karena kami hanya menerima yang terbaik. Ini sebuah ikhtiar untuk meringankan beban anak-anak yang potensial. Meminjam istilah Cak Nur (Almarhum Nurcholish Madjid, pendiri Paramadina—Red), yaitu tempat persemaian manusia baru, maka di sini kami ingin manusia baru yang potensial.

Dia menekankan hal itu mengingat dampaknya di masa depan. "Coba bayangkan, siapa kompetitor atau lawan anak-anak muda ini yang sekarang masih SMA 10-15 tahun ke depan dan yang kuliah di Paramadina, UI, UGM, ataupun Trisakti? Bukan sesama universitas itu. Kompetitor mereka orang Indonesia yang lulusan Melbourne, Sydney, Tokyo, San Fransisco, LA, dan New York. Bukan orang asing, tapi anak muda Indonesia yang sekolah di luar negeri," ungkap Anies.

Menurut Anies, mereka itu minimal punya empat hal. Pertama, ilmu pengetahuan yang lebih baru; kedua, keterampilan bahasa sementara pemimpin mahasiswa di tempat kita kalau ditanya dengan bahasa asing langsung tumbang; ketiga, kekuatan networking internasional yang mahal sekali nilainya. Keempat, mereka yang sekolah di luar negeri tentu saja punya capital.

"Perpaduan dari keempat hal itu, mereka punya confidence yang luar biasa dalam menyongsong masa depan. Nah, mereka akan berbondong-bondong pulang ke Indonesia dan ketika mereka pulang bisa mendominasi. Kalau sekarang kita melihat Ikatan Alumni UI dan Ikatan Alumni Gadjah Mada sebagai ciri lulusan dominan, ke depan kita akan saksikan ikatan alumni mahasiswa Jepang, ikatan alumni mahasiswa Amerika, dan lainnya yang mendominasi," sambung Anies.

Anies menerangkan lebih lanjut, bahwa pada sisi lain, ASEAN Free Trade Area akan aktif lebih awal dari jadwalnya. Konsekuensinya ada pergerakan tenaga kerja asing ke dalam negeri. Tengok saja sekarang stasiun pompa bensin asing seperti Shell dan Petronas sudah masuk di manamana. Kita diuntungkan karena kemudian Pertamina menaikkan kualitas. Tapi, nanti ketika kompetisinya di tingkat individual, bukan korporasi. Jika kalah dari profesional asing secara sistematis dan kolektif, saya khawatir akan muncul anak-anak muda frustrasi dan marah. Ini karena pendidikan dan persiapan yang dimiliki sekarang ini tidak didesain untuk membuat mereka menang dan dominan di masa depan. Jadi, lanjutnya, gagasan memberi beasiswa itu bagian dari sebuah desain atau idealisme yang besar.

"Saya bersyukur sekali sekarang ada di dunia pendidikan tinggi. Saya merasa ini sebuah tanggung jawab, bukan berbicara tentang satu dua individu mahasiswa, tapi satu lapis generasi untuk mengantisipasi dan mengatasi masa depan lebih baik, supaya kita menjadi pemenang dan tuan rumah di negeri sendiri. Bagi saya, pendidikan tinggi punya posisi strategis yaitu sebagai cara untuk melakukan mobilitas sosial-ekonomi secara vertikal," pungkas Anies.

Posting Komentar