Lama tak terdengar kabarnya, penyanyi dan pemain film Neno
Warisman (48) ternyata memiliki banyak kegiatan. Di antaranya adalah sibuk menjadi
narasumber seminar tentang peran orangtua dalam mendidik anak-anak, berbisnis,
dan tentunya mendidik ketiga buah hatinya dengan metode shirah Rasulullah SAW.
Ibu tiga anak ini sibuk berbisnis produk herbal dengan brand
‘Neno Shop’, yang manajemennya sepenuhnya diserahkan pada putri bungsunya,
Raudya Tuzzahra Ramadhani. Selain itu, Neno juga masih sibuk mengurusi biro
wisatanya, ‘Neno Tour & Travel’. Seperti Neno Shop, Neno Tour & Travel
pun melibatkan putra tertuanya, Ghifari Zakka Waly, sebagai salah satu pengendali
bisnisnya.
Sedangkan anak keduanya, Maghfira Izzani Maulania, didorong
memperdalam dan menekuni bidang seni yang memang menjadi bakatnya. “Saya
mengisi seminar-seminar, menjadi konsultan islamic parenting dengan penekanan
pada shirah Nabi Muhammad SAW dan para sahabat,” ujar Neno.
Neno lebih suka disebut ‘inspirator pengasuhan anak’ karena
dirinya bukan praktisi pengasuhan, bukan pendidik, guru, atau dosen. Saat ini,
wanita kelahiran Banyuwangi 21 Juni 1964 ini, tengah mengupayakan obsesi besar
agar kajian shirah Rasulullah SAW dan para sahabat ditayangkan di seluruh
stasiun televisi nasional.
Sosok pemimpin yang
didamba umat dan diidamkan rakyat sangat dinanti kehadirannya. Bagaimana
pemimpin mulai dibentuk dari elemen terkecil dalam masyarakat, yaitu dari
rumah?
Rumah atau rumah tangga adalah pondasi yang sangat menentukan
lahirnya leadership skill pada anak-anak kita sejak usia dini. Pola dan cara
pengasuhan setiap anak, sangat menentukan lahirnya calon - calon pemimpin masa
depan. Karena itu, kita harus memiliki role model kepemimpinan. Mau model
Hitler dengan fasis-nya, mau model marxist, mau ambil Lenin, mau ambil model
kapitalis, silakan ambil contoh dari Amerika.
Tapi di rumah tangga muslim, tidak ada role model terbaik
kecuali the golden generation yang dididik langsung oleh Rasulullah SAW. Yakni,
empat generasi khulafaurrasyidin, para sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in.
Kenapa kita harus mengacu pada generasi Rasulullah SAW dan
para sahabatnya? Karena leadership skill itu bukan mengandalkan otak, tapi
lebih mengandalkan hati (qalbu). Jika otak yang memimpin dan mengendalikan, otak
bisa berperilaku jahat. Tapi jika hatinya yang memimpin, insya Allah kepemimpinannya
akan baik.
Inilah metode paling awal dan paling utama yang diterapkan
Rasulullah SAW dalam mendidik dan mengkader para sahabat hingga mereka tumbuh
menjadi penerus peradaban Islam hingga kejatuhan Turki Utsmani tahun 1924.
Yang diolah, ditata, dididik, dan digembleng pertama kali
adalah hati. Setelah hatinya lurus, akhlaknya mulia, taat akan perintah Allah
dan RasulNya, serta takut akan azab Allah SWT jika berbuat ingkar dan khianat,
barulah Rasulullah SAW mendidik dan mengembangkan sesuai dengan kemampuan dan
kecenderungan masing-masing.
Tak heran, jika setiap generasi pemimpin Islam sejak era
Rasulullah SAW hingga kejatuhan Turki Utsmani tahun 1924, membuahkan
kader-kader pemimpin dunia yang luar biasa. Kita yang hidup saat ini akan sangat
kesulitan untuk menirunya. Meskipun begitu, setiap keluarga muslim tidak boleh berhenti
meneladani dan harus memiliki obsesi melahirkan pemimpin sekaliber sahabat Rasulullah
SAW. Sekali lagi, kita tidak boleh berhenti meski kelelahan menyerang semua sendi
dan sumber daya untuk terus memiliki proyeksi kepemimpinan seperti the golden generation
pada era kejayaan peradaban Islam.
Setelah menentukan
role model, kemudian?
Setelah mengenalkan dan menanamkan role model pada sosok
Rasulullah SAW dan para sahabat, aspek berikutnya yang penting ditanamkan pada
anak-anak adalah kejujuran. Karenanya, aspek ini menjadi sangat penting bagi
keluarga kami dan selalu dibahas habis-habisan dalam diskusidiskusi kecil
antara saya dan anak-anak. Kejujuran, kami jadikan semacam kurikulum di dalam
keluarga. Jika sekolah tak bisa menanamkan nilai-nilai kejujuran maka harus diambil
alih oleh orangtua. Karena salah satu aspek yang menyebabkan seorang pemimpin
berkualitas atau tidak adalah kejujuran.
Kejujuran akan mempengaruhi semua aspek dalam kinerjanya.
Terdengar miris memang, karena kejujuran sering dianggap hal yang bodoh saat
ini. Kalau kamu jujur maka akan buntung bukan untung. Tapi kita sudah
berkomitmen untuk menjadi selalu meneladani Rasulullah SAW. Kita sudah membeli
harga kita sebagai pengikut Rasulullah SAW. Karenanya tidak bisa tidak, kita
tetap harus jujur dalam kondisi dan situasi apapun. Kita memang dibolehkan untuk
bersiasat, mengatur strategi dalam berbagai medan kehidupan, tapi siasat dan strategi
itu tetap harus berpegang pada jalur kejujuran, bukan siasat atau strategi licik
yang membohongi banyak orang, juga membohongi Allah SWT dan RasulNya.
Apa metodenya?
Untuk menerapkannya, kita bagi menjadi tiga, sesuai periode
perkembangan anak. Pertama pada usia 0-7 tahun. Pada usia ini, perlakukan dan
didiklah anakmu bagaikan raja. Perhatikan secara penuh, pahami bahasa tubuhnya,
dan usahakan selalu menuruti permintaannya. Tapi bukan berarti menuruti
semuanya. Berikan penjelasan dengan bijaksana jika hal yang diminta tidak dipenuhi.
Yang utama, untuk anak usia ini, jangan pernah marah pada mereka. Just smile on
them, never be angry and if they had done something wrong, give them your advice
with smile and tell them what should they do.
Untuk menerapkan konsep kejujuran pada anak usia ini, harus
dimulai dari orangtuanya, dengan memberi keteladanan atau contoh. Keteladanan
penting karena metode yang paling tepat adalah melakukan pembiasaan berperilaku
jujur. Pembiasaan bisa diberikan jika ada keteladanan dari orangtua. pengasuh,
guru, dan orang dewasa terdekat lainnya. Karena orang yang paling dekat pada
anak usia ini adalah orangtuanya, maka orangtuanya harus mampu memberikan keteladanan
berperilaku jujur.
Misalnya, suatu saat Anda berjanji pada anak, “Nanti malam, mama
pulangnya bawain coklat ya.” Ternyata ketika pulang, tidak membawa coklat.
Ketika si kecil menagih, Anda hanya berkilah, “Aduh iya, mama lupa, besok
yah...” Dan ternyata, besoknya juga tidak membawa coklat.
Cara-cara seperti ini secara tak langsung telah mengajarkan ketidakjujuran
pada anak. Sehingga, si anak akan mengatakan, “Oh tidak trustable nih...” Jadi
secara tidak langsung, anak akan belajar bahwa tidak bisa dipercaya itu hal
yang dibolehkan. Sedangkan pelajaran yang paling buruk adalah ketika kita membiarkan
hal-hal seperti ini menimpa anak usia 0-7 tahun. Jadi harus ada pembiasaan yang
dicontohkan oleh orangtua dan orangorang yang terdekat dengan anak-anak kita.
Pada periode
perkembangan anak, mengapa fase tujuh tahun pertama sangat penting?
Tujuh tahun pertama sangat menentukan rentang 21 tahun berikutnya.
Jika sukses pada 7 tahun pertama, insya Allah akan sukses pada 21 tahun
berikutnya. Jika kita ingin mencetak kaderkader pemimpin dari rumah, maka
pondasinya harus sudah diletakkan secara kuat dan kokoh pada usia ini (0-7
tahun) oleh orangtua, pengasuh, guru, dan orang-orang dewasa lainnya yang terdekat
dengan anak.
Kebutuhan anak usia 0-7 tahun sangat sesuai dengan hadits Rasulullah
SAW: “Didiklah anakmu sebagai raja.” Raja adalah pemimpin. Maka yang harus
diberikan pada usia ini adalah, pertama, gizi fisik berupa makanan yang halal,
thayib (sehat/baik), dan segar (bukan produk olahan pabrik). Salah satu bentuk
curahan kasih sayang orangtua adalah pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan dan
lanjutannya secara full selama 2 tahun. Kedua, gizi jiwa, misalnya kasih sayang
dan perhatian orangtua dan guru-gurunya.
Ketiga, gizi spiritual. Yakni pendidikan agama yang
komprehensif. Misalnya, memasuki fase tujuh tahun kedua (8-14 tahun), pada usia
10 tahun, anak-anak diwajibkan menunaikan ibadah shalat, shalat wajib maupun
shalat sunah. Semua ini dibiasakan dan dipersiapkan sejak fase tujuh tahun
pertama, usia 0-7 tahun.
Ketika sejak usia 0-7 tahun sudah dibiasakan mengerjakan shalat,
menghafal doa sehari-hari, membaca Al-Qur'an, dan ibadah lainnya, maka ketika
memasuki usia 10 tahun, anak-anak tidak susah lagi mengerjakan kewajibannya.
Maka, pada usia 0-7 tahun, orangtua boleh bersikap tegas
tapi tidak boleh marah. Orangtua harus berpuasa marah selama 7 tahun awal
perkembangan anak, agar otak si kecil berkembang normal dan selamat. Salah
seorang rujukan saja, Dr. Taufik Wasiat, memiliki pesan: “Amankan otak anakmu
dalam kurun tujuh tahun pertama.” Bagaimana caranya? Jangan marahi si kecil,
tetaplah berwajah ceria ketika menghadapi si kecil dalam kondisi dan situasi apapun.
Pada usia berapa anak-anak
siap menjadi pemimpin?
Secara ideal, antara 15-21 tahun seharusnya anak-anak kita mampu
menjadi pemimpin. Makanya kepada anak pertama saya, Ghifari (19 tahun), ketika
dia masih berusia 18 tahun, saya katakan, “Sekarang Ghifari sudah berusia 18
tahun, maka kamu harus sudah bisa menghidupi diri sendiri. Uang saku yang bunda
kasih hanya bonus saja.” Ghifari pun menjawab, “Insya Allah Bunda, Ghifari
mampu.”
Mengapa saya terapkan pada usia 18 tahun? Jika pada usia 18 tahun
masih meleset, maka pada usia 19 tahun bisa dioptimalkan. Jika masih luput
juga, masih bisa diupayakan pada usia 20 tahun, karena batasan secara
akademisnya adalah pada usia 21 tahun. Jangan sampai sudah menginjak usia 25
tahun masih belum mengetahui arah hidupnya.
Posting Komentar