Mencetak Generasi Baru dengan "Sekolah Ibu"


BEBERAPA waktu yang lalu berita tentang balita penderita gizi buruk mulai menyeruak kembali setelah beberapa saat tak terdengar kabarnya. Tercatat di Sragen, khususnya di kecamatan Gemolong terdapat 98 balita penderita gizi buruk. Saat diteliti, ternyata faktor utama balita gizi buruk bukan hanya karena faktor ekonomi saja. Sebagian balita gizi buruk berasal dari kalangan menengah ke atas yang sulit diajak makan.

Hal ini juga dipengaruhi oleh rendahnya kesadaran orang tua terutama ibu untuk memberi asupan makanan seimbang atau istilahnya tidak ada kreativitas untuk membuat anak mau makan makanan bergizi. Kasus lain adalah masih tingginya angka kematian ibu melahirkan dan bayi baru lahir. Menurut catatan Direktorat Bina Kesehatan Ibu, rata-rata setiap tahun sekitar 165 ibu dan bayi baru lahir mengalami kematian. Angka ini terbilang cukup tinggi mengingat di seluruh dunia terjadi kematian ibu dan bayi lahir sekitar 585.000 setiap tahunnya. Penyebab langsung kematian ibu dan bayi lahir bervariasi. Mulai dari perdarahan (28%), eklamsia/keracunan kehamilan (24%), infeksi, aborsi, komplikasi, trauma obstretrik hingga lamanya proses persalinan (masing-masing 5%).

Jika sudah lahirpun, peluang tumbuh kembang anak yang belum optimal banyak terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Pada banyak kasus, cacat bawaan seperti spina bifida (cacat tabung otak), toksoplasma dan hidrosefalus terjadi akibat kualitas nutrisi yang buruk selama hamil. Bahkan nutrisi sebelum hamil juga mempengaruhi proses kehamilan itu sendiri.

Sementara banyak sekali keluhan pasangan yang belum dikaruniai keturunan. Faktor makanan adalah salah satu di antara sekian faktor yang memengaruhinya. Nutrisi yang baik merupakan modal sekaligus kesempatan untuk sel telur maupun sel sperma serta sel-sel organ-organ lainnya untuk bekerja semaksimal mungkin dalam proses pembuahan.Lagi-lagi, perempuan dan ibu sebagai pengasuh pertama dan utama yang menjadi kambing hitam.
Usut punya usut pengaruh nutrisi juga diteliti oleh WHO tahun 2003 yang mengungkapkan bahwa kualitas nutrisi terutama pada ibu hamil memberikan pengaruh besar pada kemampuan belajar anak, kemampuan tubuh melakukan aktivitas fisik, kemampuan menghindari infeksi, kemampuan reproduksi terutama pada anak perempuan, kemampuan memiliki kesehatan yang prima saat dewasa serta produktivitas saat bekerja. Artinya pengetahuan dan kreativitas ibu sebelum hamil, saat hamil hingga persalinan membawa pengaruh besar pada cetakan generasi yang akan hidup di masa depan. Istilahnya ibu-ibu yang hidup saat ini bertanggung jawab penuh pada bagaimana baik-buruknya peradaban masa mendatang.
Tanggung jawab besar ini bukan semata milik para ibu atau calon ibu. Para ayah juga bertanggungjawab untuk menfasilitasi agar para ibu dapat menemukan kembali perannya sebagai sekolah pertama dan pondasi pendidikan utama anak-anaknya. Kehidupan yang serba cepat, emansipasi yang tidak wajar hingga globalisasi yang tinggal landas membuat kaum perempuan para calon ibu atau para ibu sendiri kehilangan jati dirinya.
Hasil pendidikan dan kehidupan materialis selama ini memberikan tujuan hidup baru bagi kaum perempuan bahwa karir, pekerjaan dan pendidikan tinggi adalah hal-hal yang harus dicapai. Sedangkan urusan domestik seperti mendidik anak sebaik-baiknya, mengurus rumah dengan sempurna hingga mempelajari segala hal yang berkaitan dengan pembentukan suatu generasi mulai nutrisi, kesehatan, edukasi hingga psikologi terlampau diabaikan. Peran ibu sebagai sekolah pertama generasi baru lenyap sudah. Muncul anggapan bagi banyak orang, sudah ada sekolah yang mampu menangani semua urusan mendidik anak.

Cukup sudah anak-anak kita berorang-tuakan TV atau sekolah saja. Rasanya semua orang tua terutama ibu tidak akan rela anak-anak mereka hanya menjadi generasi terpinggirkan yang lemah. Lemah badannya, lemah prinsip hidupnya, lemah kehidupan agamanya dan lemah-lemah lainnya. Karena itulah diperlukan suatu mekanisme baru dalam masyarakat yang memberdayakan kaum perempuan untuk mengambil perannya kembali sebagai ibu sejati. Mekanisme baru tersebut berisi pembekalan, pengarahan, komunitas, diskusi dan motivasi bagi para ibu untuk mempelajari lebih dalam tentang segala seluk beluk perawatan dan pengasuhan anak-anak. Istilah mekanisme baru bisa disederhanakan dalam “sekolah ibu”.
'Sekolah ibu masa depan' berisi kelas-kelas yang mesti diambil dan dipelajari secara tuntas oleh seluruh kaum wanita baik yang belum atau sudah menikah. Sekolah ibu ini diharapkan dapat memenuhi kebutuhan para ibu akan berbagai pengetahuan dasar seperti kelas pra nikah, kelas hamil, kelas persalinan, kelas ASI, kelas tumbuh kembang anak 1 tahun, 2 tahun, 3 tahun, dan seterusnya. Termasuk di dalamya dilengkapi dengan materi penting mulai dari nutrisi keluarga, psikologi anak, manajemen rumah tangga, komunikasi, keuangan keluarga, tata boga, tata busana hingga kreativitas mendidik anak.

Di Jawa Tengah khususnya wilayah Surakarta sebenarnya telah ada gebrakan baru yaitu dibukanya kelas hamil untuk menekan kematian ibu dan bayi baru lahir. Tercatat mulai Maret 2011, kelas hamil wilayah Surakarta dibuka dan diikuti oleh ibu hamil dengan usia kehamilan 2-3 bulan. Kelas hamil yang sudah terlaksana diselenggarakan oleh Puskesmas setempat dengan bidan-bidan senior sebagai pemberi materi. Dengan menggunakan metode tentor sebaya, kelas hamil diharapkan dapat menjadi ajang diskusi dan tukar pengalaman para ibu maupun calon ibu tentang segala hal yang terjadi selama kehamilan dan langkah terbaik agar kehamilan dan persalinan berjalan lancar.

Di lapangan, pelaksanaan kelas hamil tak semulus yang direncanakan. Mulai faktor minimnya peserta, fasilitator yang kaku hingga macetnya dana operasional dari Dinas Kesehatan Propinsi Jateng membuat kelas hamil berjalan hanya sebatas formalitas. Padahal melihat kurikulumnya, kelas hamil versi Surakarta ini cukup berpotensi untuk dikembangkan menjadi percontohan sekolah ibu. Tengok saja materi-materinya, mulai dari kesehatan ibu hamil, bersalin hingga nifas, KB, perawatan bayi baru lahir hingga balita, nutrisi anak, perkembangan anak hingga ASI. Namun jika pelaksanaannya hanya sebatas mengisi presensi atau menggugurkan kewajiban dari Dinas Kesehatan maka semua tak ada artinya. Perlu keseriusan berbagai pihak mulai para ibu, para bidan atau dokter sebagai fasilitator hingga dinas terkait.

Berbekal optimisme dan harapan yang besar, layak sudah kita semua mendukung segala program dasar dalam pembekalan para ibu baik melalui “Sekolah ibu”, kelas-kelas hamil maupun program-program khusus yang mungkin oleh beberapa pihak sudah mulai dilakukan. Jika semua program itu belum menyentuh keluarga kita, maka belajar mandiri adalah solusinya. Anak-anak kita tidak akan tumbuh berkembang. Sepuluh atau dua puluh tahun lagi mereka akan mewarnai peradaban negeri ini dengan segala kiprah mereka. Karena itu, belajar dan terus belajar bagaimana mendidik dan mengasuh mereka dengan benar adalah satu-satunya pilihan. Bukan hanya tanggung jawab ibu, sekali lagi bukan. Para ayah sebenarnya adalah peran terpenting dalam pembentukan karakter anak-anak. Jadi para ayah dan ibu, mari kita belajar lagi tentang bagaimana mendidik anak-anak kita. Mari kita berlomba mencetak generasi terbaik negeri ini sebagai investasi masa depan kita baik di dunia dan akhirat.

Posting Komentar