Mendobrak kebekuan Pembelajaran Agama Islam


Tindakan kekerasan dan mutual distrust mewabah dimana-mana. Pendidikan Islam telah kehilangan substansinya sebagai sebuah lembaga yang mengajarkan bagaimana memberdayakan akal dan pikiran. Meminjam Istilah Syed Husein Al Attas , pendidikan Islam telah kehilangan “Spirit of Inquiry”. Spirit of Inquiry yaitu hilangnya semangat membaca dan meneliti yang dulu menjadi supremasi utama dunia pendidikan Islam pada zaman klasik pertengahan.

Memudarnya kecemerlangan pendidikan Islam sesungguhnya sudah terjadi sejak ratusan tahun silam. Salah satu sebab utama layunya intelektualisme Islam adalah saat dunia pendidikan Islam terjadi dikotomi keilmuan; terbelahnya ilmu agama dengan ilmu dunia antara wahyu dan alam, serta dikotomi antara wahyu dan akal. Jauh sebelumnya, dalam sejarah kependidikan Islam telah terpola pengembangan keilmuan yang bercorak integralistik-ensiklopedik, yang dipelopori para ilmuwan seperti Ibnu Rusyd, Ibnu Khaldun.

Dengan hilangnya semangat “inquiry”, kegiataan mengajar dan belajar di sekolah-sekolah/madrasah/pesantren menjadi monoton, satu arah dan kurang mampu mengembangkan metode yang melatih dan memberdayakan kemampuan belajar peserta didik. Mereka hanya terpaku pada metode “menghafal” (rote learning), menyimak dengan seksama (talaaqi), dan sangat kurang mengembangkan budaya diskusi, seminar, bedah kasus, problem solving, eksperimen, observasi, dan sebagainya. Peserta dididik menjadi kurang terampil dalam menghadapi berbagai persoalan dan tantangan.

Pembelajaran agama Islam selama ini sangat teoritis, berbeda dengan mata pelajaran lain yang alat konkretisasinya lebih mudah, mata pelajaran agama bermaterikan sejumlah pengetahuan yang cenderung bersifat abstrak. Selain itu, pada pembelajaran agama Islam banyak sekali materi ajar yang sangat sulit untuk diperagakan atau dikonkretisasikan secara visual. Di sisi yang lain, dalam ketiadaan visualitas itu justru dituntut adanya kesiapan siswa untuk bisa menerimanya dengan baik.

Menyadari kondisi yang semacam ini, bahwa pembelajaran agama Islam rawan bercorak teori, sekurang-kurangnya teoritis, yang perlu dipahami dalam pembelajaran agama ialah bagaimana dengan kondisi semacam itu pembelajarannya bisa menjadi daya tarik bagi siswa. Sehingga diperlukan adanya upaya mengintegrasikan pendidikan Islam dengan Ilmu-ilmu Pengetahuan Alam maupun Ilmu-ilmu Sosial Kontemporer. Pembelajaran Agama Islam dapat memberikan pemahaman kepada siswa dengan eksperimen atau simulasi laboratorium. Metode pembelajaran seperti ini dapat menggugah semangat pendidikan Islam di Indonesia. Seperti halnya, Pendidikan Agama Islam (PAI) merupakan salah satu mata pelajaran yang diberikan kepada siswa/mahasiswa mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi yang sarat dengan muatan nilai-nilai (illahiah, insaniah, dan alamiah).

Namun, kenyataannya pendidikan agama di perguruan tinggi secara umum masih berada di “pinggiran”, kendati secara ideal mata kuliah agama berada di “pusat”. Kesan marjinalisasi mata kuliah agama dikukuhkan oleh sebagian para pimpinan perguruan tinggi yang menganggap mata kuliah agama sebagai mata kuliah pelengkap.

Nasib mata kuliah agama tidak hanya sampai di situ, akibat rasio jumlah mahasiswa yang tidak ideal dan proporsional, mahasiswa tidak dapat diperhatikan lagi. Bahkan, perkuliahan agama ditempatkan pada semester pendek yang hanya dilakukan beberapa pertemuan saja. Lebih parah lagi, ada beberapa perguruan tinggi yang justru menghilangkan perkuliahan agama.

Selain itu, materi mata kuliah agama yang ada terasa belum mampu berperan sebagai urat nadi pengembangan iptek dan pedoman perilaku keseharian, baik dalam kerja sebagai ilmuwan maupun dalam pergaulan sosial. Dengan kata lain, orientasi pendidikan agama di negeri ini memang sudah jauh dari idealisme pendidikan agama yang dapat membentuk manusia shaleh.

Dilihat dari segi metodologi, metode pembelajaran agama masih menggunakan cara-cara tradisional, normatif ahistoris, dan akontekstual. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa banyak tenaga pengajar yang kurang mampu melakukan elaborasi, inovasi, dan kreasi materi yang sebenarnya dapat didialogkan dengan konteks sosial budaya.

Tak pelak, pendekatan doktriner cukup dominan dalam proses pembelajaran agama. Doktrin agama diterima sebatas sesuatu yang harus diimani, diterima tanpa kritik, dan merupakan barang jadi yang siap pakai. Wilayah keislaman terkesan begitu sempit, seputar rukun iman dan rukun Islam ditambah dengan seperangkat aturan tata krama dalam pergaulan sehari-hari.  Padahal mata pelajaran agama termasuk pada kelompok pengembangan kepribadian yang senyatanya menjadi barometer dalam membangun watak, kepribadian, dan moral bangsa. Pendidikan agama merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan dalam membentuk kesadaran, cara pandang, dan cara bersikap terhadap realitas.

Penulis buku ini tampak ingin merekonstruksi pendidikan agama yang selama ini masih sangat memprihatinkan baik dari segi pengertian pendidikan yang disalahartikan, orientasi, kurikulum yang terbatas pada aspek normatif dan kurang menyentuh realitas, materi dan muatan yang belum jelas, metodologi yang parsial, dan dosen yang kurang mendapatkan perhatian dari lembaga pendidikan bersangkutan.

Secara garis besar, isi buku ini dapat dikategorikan ke dalam dua bagian.  Pertama, telaah kurikulum PAI, hal ini dimaksudkan untuk memberikan pemahaman agar kegiatan pembelajaran PAI yang hendak dilakukan oleh guru diawali dengan kegiatan menelaah kurikulum. Dengan menelaah kurikulum, guru dapat memetakan korelasi antara satu  kompetensi dengan kompetensi lainnya sehingga mendapatkan gambaran yang jelas tentang tujuan program pendidikan, bahan ajar, tata urut dan cakupan materi, serta metode pembelajaran.

Kedua, buku ini menyajikan model-model pembelajaran PAI dan penilaiannya, yaitu dengan menyuguhkan berbagai model pembelajaran Pendidikan Agama Islam yang pernah diujicobakan oleh berbagai pihak dan menunjukkan respons dan hasil yang positif  terhadap peningkatan kualitas pembelajaran PAI baik dari aspek pengetahuan, sikap, maupun tindakan.

Buku semacam ini dapat dijadikan sebagai kawan diskusi bagi mahasiswa, guru dan pihak lain yang peduli terhadap upaya peningkatan kualitas pendidikan agama, terutama pada mata kuliah 'Telaah Kurikulum PAI' serta 'Belajar dan Pembelajaran PAI'.

Sebagai orang yang menganut ajaran agama Islam hendaknya kita mengetahui sejauh mana pendidikan Islam itu sendiri. Tidak sedikit orang yang mengaku beragama Islam akan tetapi pengetahuan tentang pendidikan Islam sangat minim yang berakibat tindakan dan tingkah lakunya tidak layak disebut sebagai orang Islam.

Posting Komentar